Friday, January 7, 2011

New Agenda, New List


Good Morning all!
hwaa hwaa... It has been soooooo long that I haven't bought any Gogirl mag! Now, I got one with an agenda in it. Yippy!! I love Agenda! Yeay yeay!! It's time to make another new to-do list for 2011.
Let's work!


ps: hey, it's raining outside. It's getting colder but fun!

Semiotics

Semiotics. What is it?
As far as I know, semiotics is a sub-field of Linguistics.

Is it important to know it?
As far as I study, yes it is. Why? Because it studies signification system or in simple way, it studies sign.

What can be taken as a sign?
As Umberto Eco says, anything can be taken as a sign as long as it has meaning. Fortunately, mostly, somehow, we can find sign everywhere in our daily life.

What are those?
There are colors, objects, people, gestures, photos, pictures, symbols, words, anything (back to Eco).

Who is the founder(s) of it?
A Swiss Linguist, Ferdinand de Saussure and an American Linguist, Charles Sanders Peirce. They are awesome! and after them, there are many more linguists study and each of them has their own theory about semiotics.

How does semiotics work?
Quite interesting. At first, you may be dazzled and confused of it; but, slowly you will understand and get used to it. For example, now every time I watch an advertisement on TV, my mind will automatically start to analyze it both by its verbal and non-verbal aspects.

The benefit?
You can analyze people by only looking at their gesture, gaze, attitude, words, everything on them. So, you won't be tricked. :) . I've proven it.

BANG BANG

Damn! It's 4 o'clock in the morning and suddenly there was a BANG sound. It was like 8 times. I was trying to listen to it carefully, recognizing the sound. It was like a firework but it can be also a gun. I just couldn't help it. It made me scare now. My feet are shivering, not because the cold but because of it. Why on earth would have been people banging like that at 4 am? *curious*

Mengejar Pempek Pak Raden

Dalam kurun waktu dua hari ini, aku akan terbang ke Bali bersama dua sahabatku. Liburan? Bersenang-senang? Belum tentu. Karena tujuanku ke sana hanyalah untuk bertemu keluarga dan mengurus rumah! Ugh.. Nasib sebagai anak memang seperti ini. Apalagi sebagai anak rantau yang lama terpisah dari keluarganya, ketika pulang tentu saja bukan hanya sambutan hangat yang diterima, piring kotor pun siap dicuci. Haha... Yang penting, bertemu keluarga.

Tadinya aku tidak ingin membawa apapun, oleh-oleh apapun dikarenakan aku ingin sesekali bepergian tanpa barang bawaan. Ternyata tidak bisa! Ampuuun... Umi (seharusnya panggilan untuk mama, tapi aku menggunakannya untuk tante), memintaku untuk membawakannya brownies Amanda dan Pempek Pak Raden. Dua-duanya terkenal. Tapi tidak bagiku. Amanda? Yes, I know. Pempek Pak Raden? Tunggu sebentar, di mana tempatnya?

Aku pun bertanya sana-sini kepada teman-temanku yang terkenal suka melakukan jejak petualang makanan a.k.a wisata kuliner. Ada yang ga tau, ada yang mungkin tau. Tapi, terakhir aku bertanya pada Elsa. Ternyata dia sangat tau, karena Pempek Pak Raden berlokalisasi, eh berlokasi di dekat tempat tinggalku sendiri!! OMG!! Why in the world I never know that place?
Spontan saja saya langsung menculik dua temanku; Elsa dan Christine. Kami pun menuju tempat yang dicari-cari itu yang katanya Pempek di tempat itu ENAK!

Ketika sampai di tempat, kami disambut oleh keramahan (yang malah sedikit melampaui kadar) pemilik restonya. Seorang bapak separuh baya dengan mata sedikit sipit tapi belum tentu dia keturunan Tiong Hoa. Ada apa dengan Tiong Hoa? tidak ada apa-apa. Hanya saja, aku percaya dan suka dengan masakan yang dimasak oleh orang-orang Tiong Hoa. Ada menunya, tapi kami lebih memilih untuk membeli satuan (bukan paket seperti yang ada di daftar menu) dan memilihnya sendiri. Pesanan selesai dan kamipun duduk manis.

Tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk menikmati pempek tersebut, hanya sekitar 5-7 menit. Hmm... cara menyajikannya biasa saja, tapi setelah aku tuangin kuahnya. WOW! Kuahnya saja sudah beda, kental. Sangat jauh berbeda dengan kuah-kuah pempek lainnya. Good feeling di mana-mana. Suapan pertama, langsung terasa kelembutan pempeknya dan kuatnya rasa kuahnya. Ditambah lagi sambel yang pedas meskipun kuahnya juga agak pedas, padahal sekarang harga cabai sedang meroket hingga Rp. 150.000,- paling mahal (di Tarakan).

Tak terasa pempek kami pun habis seiring dengan waktu. Pada saat awal kami duduk, pemilik resto juga menyajikan sepiring otak-otak, tapi kami tidak menggubrisnya karena tujuan kami ya pempek. Setelah makan, seperti biasa layaknya perempuan pada umumnya, kami mengobrol panjang lebar hingga mata kami tertuju pada sebuah gelas bermulut lebar yang di dalamnya ada seonggok es berwarna merah putih dengan lelehan susu cokelat dan putih di atasnya.

"Apaan itu re?" tanya Elsa.
"Hmm... es kacang merah," ujarku yakin.
"Apa itu? Enak ga?"
"BANGET!! Aku sering bikin di rumah, kalau pulang."
"Dari apa? Kacang merah yang buat sop ya?"
"Yup."
"Enak gitu?"
"Yup. Karena itu kacang biasa ca yang multifungsi; sop dan es."
"Ok. Mas, es kacang merahnya satu," tutupnya.

Es yang dinanti-nanti pun tiba. Satu gelas untuk bertiga. Agak berbeda dengan aslinya. Kalau yang asli memakai sirup gula merah dan kuah rebusan kacang merah itu sendiri. Tapi ini, memakai sirup merah yang kami pun tidak bisa menebak sirup apakah itu. Over all, it tastes good. Sanggup membasahi dahaga dan menghilangkan rasa pedas pempek. Kacangnya juga direbus dengan sempurna, begitu lembut dan manisnya pas, tidak membuat eneg. Harga Rp. 10.000,- per gelas pun terlupakan. Oiya, untuk Pempeknya sendiri, yang berukuran besar seharga Rp. 12.000,-, yang kecil Rp. 3.500,-. Sedangkan untuk paketnya ada beragam, kisaran Rp. 12.000,- an. Tapi semuanya patut dicoba! Ga akan rugi.

Resto Pempek Pak Raden memang patut diacungi jempol dah. Sejauh ini, karena aku hanya tau satu, tempatnya di Jl. Leumbah Neundeut Setrasari depan hotel Permata Bandung. Cobain deh!